Baru-baru ini sering banget online Facebook. Mungkin saking gak ada kerjaanya setelah UTS yang cukup mengguncang otak. Sewaktu Penulis buka, ada news feed yang cukup menarik dari salah satu teman di Pontianak. Tulisannya begini:
"Psychology says, the person who tries to keep everyone happy
often ends up feeling the loneliest."
Entah kenapa rasanya nancap aja di dada. Kalo diintrospeksi lagi, Penulis orangnya selalu win-win-solution, artinya selalu beri penyelesaian semua orang menang, yang penting mereka bahagia gak peduli Penulis bahagia atau tidak. Setelah direnungkan, yah siapa sih yang mau sendiri, kesepian? Apa lagi bukan di tanah kelahiran sendiri. Gak mau kan?? Rasanya yah seperti aneh aja sih, kenapa orang baik balasannya cenderung tidak menyenangkan, bahkan sudah ada hasil penelitiannya. Bukankah memenangkan semua orang adalah hal baik seperti menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada seorang terdakwa sesuai kemampuannya dan sama dengan keinginan si korban? Bukankah itu yang diidam-idamkan masyarakat secara menyeluruh? Apakah hal seideal ini adalah hal yang buruk?
Di lain sisi Penulis juga sadar, semua hal ada pengorbanan, baik secara psikologis ataupun material. Jika yang satu senang mungkin ada yang lain tidak senang. Entah jalan pikirku yang bermasalah atau memang hidup demikian. Jika Penulis masih tetap mempertahankan sikap demikian (win-win-solution) kepada orang lain, apakah selamanya tidak ada satu pun orang yang memperhatikanku? Bukan bermaksud mengharapkan imbalan, tetapi semua orang kan berhak untuk dihargai. Penulis tidak mau sendiri, itu sudah jelas, semua orang tidak ada yang mau sendiri, tak seorang pun! Tetapi di lain sisi, win-win-solution adalah jalan yang cukup efektif untuk Penulis menyelesaikan masalah.
Jika kebaikan hanya berujung keburukan, tidak kah orang sudah lelah menjadi orang baik? Lama-lama ya teringat juga guru agama SMA pernah bilang, "untuk ikut kerajaan surga dan sejalan dengan Bapa itu tidak mudah, dek. Tidak semua orang mampu atau bertahan dengan jalan itu. Ketika orang mencaci kamu, kamu musti diam dan memaafkan, ketika kamu dijahatin, kamu harus mengampuninya. Aku jadi guru pun mana mau de? Kalau dia mencaci tak ada alasan aku pasti sikat balik, mana tahan dek." Nostalgia banget kata-kata itu di pelajaran agama Katolik sewaktu SMA.
Di lain sisi keingat juga mentorku pernah bilang,"manusia tidak dihadapkan dengan kebaikan saja tetapi kebenaran, sayangnya kebenaran pasti menghasilkan tidak hanya yang benar tapi juga yang salah. Jika seseorang menamparmu di pipi kiri, kebaikan mengajarkan memberikan pipi kananmu supaya ego si penampar terpenuhi dan ia akan merenungkan apa yang telah ia perbuat (konsep an eye for an eye), sedangkan dalam kebenaran jika seseorang menamparmu di pipi kiri, kamu tidak perlu berbuat sesuatu, tunggu hingga si penampar melakukan kesalahan, maka ungkapkan apa yang telah ia perbuat adalah merupakan salah, maka di saat itu juga ia akan sadar akan apa yang telah ia perbuat karena engkau telah menyerang dia untuk kebaikan." Hahahaha~ Menarik bukan? Yah, mungkin setelah dipikir-pikir win-win-solution tidak selalu efektif mengingat kedua konsep di atas. Tawaran yang selalu ideal, selalu sulit dilaksanankan. Tetapi Penulis memutuskan satu hal, win-win-solution tetap akan dipertahankan, cuma mungkin harus juga memperhatikan kebenaran, sama saja seperti menjadi wasit pertandingan sepak bola, skornya 2-3. Tetapi gol cetakan ketiga grup B seharusnya melanggar aturan, wasit menyatakan itu tidak sah, grup A puas wasit adil dan grup B puas mereka seri. Sederhana, tapi susah diterapkan....
Yah doain aja Penulis bisa jadi orang yang lebih baik lagi di masa mendatang. Terimakasih sudah membaca.