Thursday, 6 March 2014

Pengajaran Agama Interreligius Sebagai Solusi Persatuan di Atas Pluralisme

Pendahuluan
Indonesia adalah negara kesatuan dengan pluralisme masyarakat yang sangat beranekaragam, mulai dari suku, ras, agama, bahasa, budaya, adat dan lain sebagainya. Walaupun demikian, Indonesia telah dipersatukan dalam suatu bentuk Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, hal ini dibuktikan dengan sila ketiga Pancasila yang berbunyi persatuan Indonesia serta sembohyan negara yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang mana hingga kini masih hidup dan sepatutnya mengakar dalam masyarakat
Namun baik fakta empiris sosiologis menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat saat ini tidak seidealistis nilai-nilai filosofis Indonesia yang ada, sulit untuk tidak mengakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu membentuk kesatuan seperti yang diharapkan para founding fathers, bahkan masih banyak benturan konflik yang berlatarbelakang pluralisme. Salah satu bukti masyarakat belum mampu menciptakan nilai-nilai persatuan adalah sikap eksklusivme melalui ajaran monoreligius dalam sistem pendidikan. Misalnya sekolah-sekolah yang berlandaskan agama tertentu.
Padahal jika kita mengkaji kembali sejarah kelam penjajahan di Indonesia, para founding fathers dan pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang telah gugur telah berkorban besar demi kelangsungan kesatuan Indonesia. Kesatuan Indonesia adalah bentuk perjuangan sekaligus kesepakatan bahwa semua warga Negara Indonesia terlepas apapun latar belakangnya merupakan satu. “Satu” di sini bukan berarti harus dibentuk unifikasi dan satu paham yang rigid dan absolut yang wajib ditaati. Kesatuan yang telah disepakati Indonesia adalah harmonisasi dan toleransi antar sesama dalam kehidupan bernegara. Berbeda-beda tetapi tetap satu, makna dari Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya menyimpan arti yang dalam walaupun diinterpretasi secara praktis. Singkat kata, Negara memperbolehkan tumbuh kembangnya aktivitas pluralisme selagi tidak bertentangan dan melanggar prinsip harmonisasi  masyarakat dan kesatuan negara.

Pembahasan
Membahas lebih dalam mengenai eksklusivme, ekslusivme adalah paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat yang berbeda. Salah satu contohnya, di Yogyakarta dan sejumlah kota-kota besar masih banyak ditemukan fenomena kos khusus Muslim, kompleks perumahan muslim, dan lain sebagainya. Fenomena ini membuktikan bahwa ada keengganan masyarakat untuk hidup di atas realitas pluralisme di bidang sosial agama.
Mengkaji akar dari fenomena di atas, pemahaman agama yang dianut seseorang memang sangat penting dalam membangun generasi yang bermoralitas dan bertaqwa. Namun tanpa kita sadari, bibit ekslusivme telah tertanam sejak seseorang menjadi peserta didik dari sekolah dasar hingga menengah ke atas, yang mana selama 12 tahun belajar lamanya. Buktinya dengan adanya eksistensi sekolah-sekolah berbasis agama tertentu atau menganut konsep monoreligius. Barulah memasuki lingkungan perkuliahan, pemahaman norma dan nilai-nilai pluralisme baru terasa, namun faktanya tidak semua mahasiswa bisa beradaptasi demikian. Akibatnya, masyarakat Indonesia cenderung mengalami lazy tolerance yaitu sikap apatis, sikap ogah-ogahan dalam memandang secara positif pluralisme yang ada di sekitar, sebab sejak masa pendidikan saja yang dipelajari hanya apa yang mereka anut, tidak melihat dari perspektif yang lain yang berujung pada sikap eksklusivme. Parahnya lagi sikap tersebut justru telah dibangun oleh lembaga pendidikan.
 Paham monoreligius yang dianut sekolah-sekolah di Indonesia sejak awal sesungguhnya sangat baik dan penting, namun cukup diberikan hingga sekolah dasar sebagai penanaman akar nilai-nilai religious, moralitas dan pembentukan iman. Sedangkan untuk selanjutnya, seharusnya sejak sekolah menengah pertama, yang mana tumbuh kembang dan wawasan siswa sudah semakin terbentuk jelas, dengan waktu yang tepat itulah siswa sepatutnya diberi pembekalan mengenai pengenalan pluralisme dan universalitas di lingkungan sekolah melalui pengajaran agama interreligius. Di samping itu, dialog antar agama terutama dengan target peserta didik juga berperan penting.
Dengan pengajaran agama interreligius, wawasan tentang agama siswa akan lebih menjadi luas. Siswa akan dituntun untuk mempelajari latar belakang terbentuknya agama di Indonesia dan nilai-nilai apa saja yang ada di dalamnya. Sedangkan melalui dialog agama, pemahaman kritis akan konsekuensi multireligius akan terpupuk sejak awal. Melalui dialog antar agama sesungguhnya siswa diajak untuk merefleksikan diri, apa saja nilai-nilai yang telah dianut selama ini, apa persamaan dan perbedaan yang dianut orang lain, bagaimana cara menghormati dan menghargai orang diluar agamanya serta bentuk perwujudannya secara konkrit. Siswa dituntut untuk mengetahui latar belakang setiap agama dan tidak meneropong dari satu perspektif saja, tetapi juga melalui perspektif orang lain. Siswa dibekali pembelajaran tentang agama lain, mengubah persepsi yang selama ini salah terhadap agama lain yang nantinya akan diwujudkan dengan sikap dan tindakan yang lebih menghargai sesama atau toleransi. Namun faktor terpenting yang tidak boleh terlupakan bahwa dialog antar agama yang baik tentunya harus disertai oleh ahli agama yang baik dan objektif pula.
Dari sini dapat ditarik sebuah garis besar bahwa dialog antar agama sebenarnya idak merubah pandangan seseorang terhadap agama yang dianutnya dan menyeret kepercayaan seseorang ke percayaan yang lain seperti apa yang ditakutkan masyarakat kebanyakan selama ini. Dialog antar agama justru mencerahkan pemahaman yang sudah dianut saat ini maupun mengenai agama lain. Rasa saling melengkapi dan memahami orang lain tentunya akan berujung pada nilai-nilai toleransi. Seseorang yang telah memahami bagaimana bertoleransi yang baik akan pula memahami nilai-nilai integritas yang kuat dalam diri dan lingkungannya. Selain itu, studi pengajaran interreligius juga merupakan suatu metode yang efektif membantu pembentukan norma bersama, artinya ketika dibentuk suatu aturan, nilai-nilai masing-masing agama bisa ditarik menjadi satu kesatuan yang telah disepakati dan masyarakat sudah tahu bagaimana cara melaksanakannya tanpa melanggar nilai dan norma orang lain. Perjumpaan antar agama yang rutin bisa pula menjadi kesempatan saling memperkaya dan bekerja sama mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluknya dalam pergaulan di lingkungan masyarakat yang beranekaragam. Dengan demikian, tentunya yang menjadi fokus utama yang paling diharapkan adalah dengan terbentuknya persatuan dan kesatuan nasional sebagai Negara Indonesia tercapai.  
    
Kesimpulan
Pluralisme Indonesia sepatutnya tidak menjadi penghambat persatuan dan nasionalisme masyarakat. Pluralisme Indonesia harus disikapi sebagai anugerah bahwa dibalik keanekaragamannya tersimpan sejarah persamaan nasib dan kesepakatan perjuangan akan persatuan dan kesatuan dalam membentuk Indonesia. Melalui pengajaran agama interreligius diharapkan dapat menjadi solusi bagi konsep pendidikan monoreligius dan lazy tolerance bagi persatuan masyarakat serta toleransi antar agama sejak dini.
This entry was posted in

Monday, 3 March 2014

Kedudukan Dekrit di Indonesia

Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dikenal adanya Dekrit Presiden. Sehubungan dengan hal itu, kapan serta hal-hal apakah yang melatarbelakangi terbitnya dekrit Presiden tersebut ? serta jelaskan secara teori ketatanegaraan kedudukan dekrit presiden tersebut!

Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa dekrit hanya dapat dikeluarkan dalam tiga keadaan. Pertama, negara dalam situasi perang di mana segalanya menjadi darurat dan diperbolehkan membuat peraturan yang melanggar hukum sebelumnya. Kedua, negara dalam kekacauan dan dekrit dikeluarkan untuk menghentikan kekacauan tersebut. Sedangkan kondisi terakhir yang memungkinkan dikeluarkannya dekrit adalah fungsi-fungsi kenegaraan dalam keadaan darurat. Dalam kondisi ini dapat dikeluarkan peraturan dalam bentuk Perpu untuk mengatasi keadaan ini. 
 
Dekrit menurut Prof.Yusril Ihza Mahendra tidak memliliki kedudukan dan dasar dalam konstitusi Indonesia, dari segi sosiologis maupun politis. Oleh sebab itu, Presiden diminta tidak mengeluarkan dekrit. Contoh konkretnya saja pada saat Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit untuk mempertahankan posisinya sebagai Presiden tidak direspon oleh MPR dan TNI apa lagi rakyat pada saat itu. Berbeda kondisi Dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk menyelamatkan bangsa terkait kisruh cabinet dan kembalinya Indonesia kepada UUD 1945.