Pendahuluan
Indonesia
adalah negara kesatuan dengan pluralisme masyarakat yang sangat beranekaragam,
mulai dari suku, ras, agama, bahasa, budaya, adat dan lain sebagainya. Walaupun
demikian, Indonesia telah dipersatukan dalam suatu bentuk Negara yang
menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, hal ini dibuktikan dengan sila ketiga
Pancasila yang berbunyi persatuan Indonesia serta sembohyan negara yaitu
Bhineka Tunggal Ika, yang mana hingga kini masih hidup dan sepatutnya mengakar
dalam masyarakat
Namun
baik fakta empiris sosiologis menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat saat ini tidak
seidealistis nilai-nilai filosofis Indonesia yang ada, sulit untuk tidak
mengakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu membentuk kesatuan seperti yang
diharapkan para founding fathers,
bahkan masih banyak benturan konflik yang berlatarbelakang pluralisme. Salah
satu bukti masyarakat belum mampu menciptakan nilai-nilai persatuan adalah sikap
eksklusivme melalui ajaran monoreligius dalam sistem pendidikan. Misalnya
sekolah-sekolah yang berlandaskan agama tertentu.
Padahal
jika kita mengkaji kembali sejarah kelam penjajahan di Indonesia, para founding fathers dan pahlawan-pahlawan
kemerdekaan yang telah gugur telah berkorban besar demi kelangsungan kesatuan
Indonesia. Kesatuan Indonesia adalah bentuk perjuangan sekaligus kesepakatan
bahwa semua warga Negara Indonesia terlepas apapun latar belakangnya merupakan
satu. “Satu” di sini bukan berarti harus dibentuk unifikasi dan satu paham yang
rigid dan absolut yang wajib ditaati.
Kesatuan yang telah disepakati Indonesia adalah harmonisasi dan toleransi antar
sesama dalam kehidupan bernegara. Berbeda-beda tetapi tetap satu, makna dari
Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya menyimpan arti yang dalam walaupun
diinterpretasi secara praktis. Singkat kata, Negara memperbolehkan tumbuh
kembangnya aktivitas pluralisme selagi tidak bertentangan dan melanggar prinsip
harmonisasi masyarakat dan kesatuan
negara.
Pembahasan
Membahas
lebih dalam mengenai eksklusivme, ekslusivme adalah paham yang mempunyai kecenderungan
untuk memisahkan diri dari masyarakat yang berbeda. Salah satu contohnya, di
Yogyakarta dan sejumlah kota-kota besar masih banyak ditemukan fenomena kos
khusus Muslim, kompleks perumahan muslim, dan lain sebagainya. Fenomena ini
membuktikan bahwa ada keengganan masyarakat untuk hidup di atas realitas pluralisme
di bidang sosial agama.
Mengkaji
akar dari fenomena di atas, pemahaman agama yang dianut seseorang memang sangat
penting dalam membangun generasi yang bermoralitas dan bertaqwa. Namun tanpa
kita sadari, bibit ekslusivme telah tertanam sejak seseorang menjadi peserta
didik dari sekolah dasar hingga menengah ke atas, yang mana selama 12 tahun
belajar lamanya. Buktinya dengan adanya eksistensi sekolah-sekolah berbasis
agama tertentu atau menganut konsep monoreligius. Barulah memasuki lingkungan
perkuliahan, pemahaman norma dan nilai-nilai pluralisme baru terasa, namun faktanya
tidak semua mahasiswa bisa beradaptasi demikian. Akibatnya, masyarakat
Indonesia cenderung mengalami lazy
tolerance yaitu sikap apatis, sikap ogah-ogahan dalam memandang secara
positif pluralisme yang ada di sekitar, sebab sejak masa pendidikan saja yang
dipelajari hanya apa yang mereka anut, tidak melihat dari perspektif yang lain
yang berujung pada sikap eksklusivme. Parahnya lagi sikap tersebut justru telah
dibangun oleh lembaga pendidikan.
Paham monoreligius yang dianut sekolah-sekolah
di Indonesia sejak awal sesungguhnya sangat baik dan penting, namun cukup
diberikan hingga sekolah dasar sebagai penanaman akar nilai-nilai religious,
moralitas dan pembentukan iman. Sedangkan untuk selanjutnya, seharusnya sejak sekolah
menengah pertama, yang mana tumbuh kembang dan wawasan siswa sudah semakin terbentuk
jelas, dengan waktu yang tepat itulah siswa sepatutnya diberi pembekalan mengenai
pengenalan pluralisme dan universalitas di lingkungan sekolah melalui
pengajaran agama interreligius. Di samping itu, dialog antar agama terutama dengan
target peserta didik juga berperan penting.
Dengan
pengajaran agama interreligius, wawasan tentang agama siswa akan lebih menjadi luas.
Siswa akan dituntun untuk mempelajari latar belakang terbentuknya agama di
Indonesia dan nilai-nilai apa saja yang ada di dalamnya. Sedangkan melalui
dialog agama, pemahaman kritis akan konsekuensi multireligius akan terpupuk
sejak awal. Melalui dialog antar agama sesungguhnya siswa diajak untuk
merefleksikan diri, apa saja nilai-nilai yang telah dianut selama ini, apa
persamaan dan perbedaan yang dianut orang lain, bagaimana cara menghormati dan
menghargai orang diluar agamanya serta bentuk perwujudannya secara konkrit.
Siswa dituntut untuk mengetahui latar belakang setiap agama dan tidak
meneropong dari satu perspektif saja, tetapi juga melalui perspektif orang
lain. Siswa dibekali pembelajaran tentang agama lain, mengubah persepsi yang
selama ini salah terhadap agama lain yang nantinya akan diwujudkan dengan sikap
dan tindakan yang lebih menghargai sesama atau toleransi. Namun faktor
terpenting yang tidak boleh terlupakan bahwa dialog antar agama yang baik
tentunya harus disertai oleh ahli agama yang baik dan objektif pula.
Dari
sini dapat ditarik sebuah garis besar bahwa dialog antar agama sebenarnya idak
merubah pandangan seseorang terhadap agama yang dianutnya dan menyeret kepercayaan
seseorang ke percayaan yang lain seperti apa yang ditakutkan masyarakat kebanyakan
selama ini. Dialog antar agama justru mencerahkan pemahaman yang sudah dianut
saat ini maupun mengenai agama lain. Rasa saling melengkapi dan memahami orang
lain tentunya akan berujung pada nilai-nilai toleransi. Seseorang yang telah
memahami bagaimana bertoleransi yang baik akan pula memahami nilai-nilai integritas
yang kuat dalam diri dan lingkungannya. Selain itu, studi pengajaran interreligius
juga merupakan suatu metode yang efektif membantu pembentukan norma bersama,
artinya ketika dibentuk suatu aturan, nilai-nilai masing-masing agama bisa
ditarik menjadi satu kesatuan yang telah disepakati dan masyarakat sudah tahu
bagaimana cara melaksanakannya tanpa melanggar nilai dan norma orang lain.
Perjumpaan antar agama yang rutin bisa pula menjadi kesempatan saling memperkaya
dan bekerja sama mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluknya dalam
pergaulan di lingkungan masyarakat yang beranekaragam. Dengan demikian, tentunya
yang menjadi fokus utama yang paling diharapkan adalah dengan terbentuknya
persatuan dan kesatuan nasional sebagai Negara Indonesia tercapai.
Kesimpulan
Pluralisme
Indonesia sepatutnya tidak menjadi penghambat persatuan dan nasionalisme
masyarakat. Pluralisme Indonesia harus disikapi sebagai anugerah bahwa dibalik
keanekaragamannya tersimpan sejarah persamaan nasib dan kesepakatan perjuangan
akan persatuan dan kesatuan dalam membentuk Indonesia. Melalui pengajaran agama
interreligius diharapkan dapat menjadi solusi bagi konsep pendidikan
monoreligius dan lazy tolerance bagi
persatuan masyarakat serta toleransi antar agama sejak dini.