Pengetahuan Tentang Lingkungan
Lingkungan
Alam Sekitar
Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang
berawa-rawa dan berlumpur serta dikelilingi hutan tropis. Daerahnya landai dan
dikelilingi ratusan anak sungai. Curah hujan turun sebanyak 200 hari setiap
tahun. Suhu minimal 21◦C dan maksimal 32◦C. Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 m. Dengan pengetahuan inilah
dimanfaatkan oleh masyarakat suku Asmat untuk berlayar. Dengan demikian,
apabila air surut, orang Asmat berperahu ke arah hilir dan kembali ke hulu
ketika pasang naik.
Flora dan Fauna
Pemanfaatan flora dan fauna di daerah lingkungan orang Asmat dapat ditemui
seperti sagu. Sagu merupakan makanan pokok orang Asmat. Sagu diibaratkan wanita
karena kehidupan keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan yang keluar dari Rahim
ibu. Kayu kuning sangat berharga bagi orang Asmat sebagai bahan utama ukiran,
pahatan dan kapal. Rotan sebagai bahan utama pembuatan keranjang sedangkan labu
yang dikeringkan dimanfaatkan sebagai botol air.
Hasil pangan berupa cocok tanam suku Asmat meliputi wortel, jeruk, jagung,
matoa dan peternakan meliputi ayam dan babi. Masyarakat suku Asmat juga
mengkonsumsi ulat sagu, tikus hutan, kuskus, iguana, ikan dan kepiting
rawa. Cangkang kerang dan gigi anjing
dimanfaatkan sebagai perhiasan.
Zat-zat
Suku Asmat mengenal 3 warna dalam kehidupannya, yaitu merah, putih dan
hitam. Warna merah didapatkan dari larutan tanah merah dan air. Warna putih
didapatkan dari campuran kerang tumbuk dan air. Warna hitam didapatkan dari
campuran arang dan air.
Suku Asmat sangat bergantung pada air hujan untuk minum karena air di
sekitar rawa-rawa dan sungai sangat payau. Orang Asmat juga memperoleh air
minum ketika air sungai sangat surut sehingga tidak terlalu payau.
Hasil bahan mentah meliputi:
Kayu gaharu, rotan, kemiri, damar, kemenyan, kulit masohi, kulit lawang,
cucut, udang, teripang, cumi-cumi, ikan, nipah, kerang, keong laut, kayu
kuning, sagu, labu, ilalang, dsb.
Benda lingkungan:
Kapak batu dan ukiran pahatan kayu.
Sifat dan Tingkah Laku
Bentuk tubuh orang Asmat sangatlah berbeda dengan penduduk lainnya. Kaum
laki-laki memiliki tinggi badan antara 1,67 hingga 1,72m. Sedangkan kaum
perempuan antara 1,60 hingga 1,65m. Bentuk kepala lonjong (dolichocephalic),
bibir tipis, hidung mancung, kulit hitam gelap, kelopak mata bulat dan rambut
hitam. Otot-otot tangan dan dada tegap serta kuat karena sering mendayung. Tubuh
kaum perempuan biasanya lebih kurus karena proporsional pekerjaan yang lebih
banyak.
Suku Asmat memiliki pola perilaku yang turun temurun yaitu kanibalisme.
Masyarakat suku Asmat akan membunuh musuhnya dalam peperangan. Mayat musuh akan
dibawa pulang ke kampong, diarak-arak sambil menyanyikan lagu kematian dan
memenggal kepalanya. Tubuh musuh dipotong-potong dan dibagikan kepada seluruh
penduduk untuk dimakan bersama. Otaknya dibungkus sagu, dipanggang dan dimakan.
Masyarakat suku Asmat biasanya memotong satu ruas jari apabila ada salah
satu keluarga yang meninggal. Bagi suku Asmat kematian disebabkan oleh roh
jahat dan ilmu hitam. Maka dari itu, apabila ada yang meninggal, orang Asmat
akan menutup segala lubang dan jalan masuk dengan tujuan menghalangi roh jahat.
Penukaran istri dengan perempuan yang disenangi terjadi dalam upacara
khusus. Laki-laki bebas bersitubuh dengan perempuan pilihannya selesai upacara.
Kegiatan ini biasa terjadi setelah peperangan. Laki-laki juga boleh menukar
istrinya dengan orang lain yang disenangi.
Masyarakat suku Asmat cenderung saling mengatasi kesulitan kehidupan
bersama. Suku Asmat biasanya saling barter untuk mendapatkan barang-barang
kebutuhan. Tidak hanya itu, mereka juga biasanya melakukan barter dengan
masyarakat daratan tinggi untuk mendapatkan alat-alat seperti kapak dan batu.
Suku Asmat cenderung tertutup terhadap dunia luar terutama kaum perempuan.
Walaupun kaum laki-laki sering berkelana, suku ini cukup menjaga kemurnian
suku.
Ruang dan Waktu
Untuk memperoleh makanan di hutan, orang Asmat biasanya berangkat pada
hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Selama di hutan, mereka
tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.
Masyarakat Asmat mengenal simbol-simbol ukiran yang menggambarkan perasaan
sedih, bahagia dan perasaan lainnya. Ukiran juga menyimbolkan komunikasi dengan
arwah leluhur.
Sumber:
- Boelars, Jan. Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia, 1986.
- Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1997.
- Keontjaraningrat,dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Departemen Sosial Dewan Nasional Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
- Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
- Smidth, Dirk. Asmat Art: Woodcarving of Southwest New Guinea. New York: George Braziller, 1993.
- Sudarman, Dea. Asmat: Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
- http://bumikupijak.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=I&id=84
- http://www.annehira.com/suku-asmat-di-Indonesia
- http://tindonesia.com/kolom/wforum.cgi?no=3673&reno=3670&oya=3670&mode=msgview&age=o
- http://www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat.htm
Catatan:
Ini merupakan ringkasan berdasarkan hasil analisa dan beberapa sumber dari buku dan situs internet. Penulis tidak bertanggungjwab atas isi dalam post ini. Apabila terdapat kontradiksi terhadap isi dan pernyataan yang tidak sesuai, silahkan dikonfirmasi pada bagian komentar, serta kritik dan masukkan yang konstruktif. Terimakasih.
kenapa orang asmat pergi pada hari senin dan kembali ke kampung pada hari sabtu? kenapa tidak di hari lainnya?
ReplyDeleteBisa jadi karena Minggu dianggap hari sakral atau hari istirahat, sehingga hari Sabtu semua masyarakat berusaha untuk kembali pada hari itu. Berangkat hari senin kemungkinan besar karena kebiasaan masyarakat yang berlayar. Berlayar butuh beberapa hari sehingga supaya dapat kembali sebelum hari Sabtu atau Minggu, maka berangkat hari Senin dan kembali sebelum Sabtu. Namun asumsi ini perlu ditelusuri lebih lanjut.
Delete